Kawasan
Asia Tenggara pada masa protosejarah sebenarnya merupakan wilayah yang
dinamis dalam perkembangan kebudayaannya. Wilayah tersebut merupakan
terminal migrasi bangsa yang datang dari arah Asia kontinental. Dalam
upaya menempati wilayah yang baru saja dihuni, manusia migran dari
daratan Asia mengembangkan kebudayaannya yang akan menjadi dasar
perkembangan kebudayaan Asia Tenggara hingga kini.
Setelah beberapa ratus abad bermukim di daratan Asia Tenggara, orang-orang yang kemudian mengembangkan kebudayaan Austronesia tersebut, sebagian ada yang melanjutkan migrasinya ke wilayah kepulauan, menyebar ke arah kepulauan Nusantara dan juga Filipina, bahkan terus berlanjut ke arah pulau-pulau di Samudera Pasifik. Menurut Robert von Heine Geldern, migrasi ke arah wilayah kepulauan terjadi dalam dua tahap, yaitu:
Setelah beberapa ratus abad bermukim di daratan Asia Tenggara, orang-orang yang kemudian mengembangkan kebudayaan Austronesia tersebut, sebagian ada yang melanjutkan migrasinya ke wilayah kepulauan, menyebar ke arah kepulauan Nusantara dan juga Filipina, bahkan terus berlanjut ke arah pulau-pulau di Samudera Pasifik. Menurut Robert von Heine Geldern, migrasi ke arah wilayah kepulauan terjadi dalam dua tahap, yaitu:
- Tahap pertama berlangsung dalam kurun waktu antara 2500--1500 SM
- Tahap kedua berlangsung dalam kurun waktu yang lebih muda antara 1500—500 SM (Von Heine Geldern 1932 and 1936; Soejono 1984: 206--208).
Kesimpulan tersebut didasarkan kepada berbagai
penemuan arkeologi, antara lain monument-monumen dari tradisi megalitik
yang tersebar di berbagai wilayah Asia Tenggara termasuk di Indonesia.
Kajian megalitik menunjukkan bahwa di masa silam terjadi dua gelombang
migrasi dari Asia Tenggara daratan seraya membawa hasil-hasil
kebudayaan megalitiknya. Gelombang pertama menghasilkan kebudayaan
megalitik tua dengan cirinya selalu menggunakan batu-batu alami besar,
sedikit pengerjaan pada batu, dan minimnya ornament. Dalam gelombang
kedua migrasi dihasilkan kebudayaan megalitik muda yang mempunyai
cirri, batu-batu tidak selalu berukuran besar, telah banyak pengerjaan
pada batu, dan juga telah banyak digunakan ornamen dengan beragam
bentuknya. Megalitik muda itu telah menempatkan nenek moyang
bangsa-bangsa Asia Tenggara dalam era proto-sejarah. Bersamaan dengan
berkembangnya kebudayaan megalitik muda, kemahiran mengolah bijih logam
telah maju, sehingga masa itu juga telah dihasilkan benda-benda dari
perunggu dan besi.
/02/ Kebudayaan Austronesia
Para ahli dewasa ini menyatakan bahwa migrasi orang-orang Austronesia
kemungkinan terjadi dalam era yang jauh lebih tua, migrasi itu telah
berlangsung mulai kurun waktu 6000 SM hingga awal tarikh Masehi. Akibat
mendapat desakan dari pergerakan bangsa-bangsa di Asia Tengah,
orang-orang pengembang kebudayaan Austronesia bermigrasi dan akhirnya
menetap di wilayah Yunnan, salah satu daerah di Cina Selatan. Kemudian
berangsur-angsur mereka menyebar memenuhi seluruh daratan Asia Tenggara
hingga mencapai pantai. Selama kehidupannya di wilayah Asia Tenggara
daratan sambil mengembangkan kebudayaannya yang diperoleh dalam
pengalaman kehidupan mereka.
Pada sekitar tahun
3000-2500 BC, orang-orang Austronesia mulai berlayar menyeberangi
lautan menuju Taiwan dan kepulauan Filipina. Diaspora Austronesia
berlangsung terus hingga tahun 2500 SM mereka mulai memasuki Sulawesi,
Kalimantan dan pulau-pulau lain di sekitarnya. Dalam sekitar tahun
2000 SM kemungkinan mereka telah mencapai Maluku dan Papua. Dalam masa
yang sama itu pula orang-orang Austronesia dari daratan Asia Tenggara
berangsur-angsur memasuki Semenanjung Malaysia dan pulau-pulau bagian
barat Indonesia. Migrasi ke arah pulau-pulau di Pasifik berlanjut terus
hingga sekitar tahun 500 SM hingga awal dihitungnya tarikh Masehi.
Ketika
migrasi telah mulai jarang dilakukan, dan orang-orang Austronesia
telah menetap dengan ajeg di beberapa wilayah Asia Tenggara, terbukalah
kesempatan untuk lebih mengembangkan kebudayaan secara lebih baik
lagi. Berdasarkan temuan artefaknya, dapat ditafsirkan bahwa antara
abad ke-5 SM hingga abad ke-2 M, terdapat bentuk kebudayaan yang
didasarkan kepada kepandaian seni tuang perunggu, dinamakan Kebudayaan
Dong-son. Penamaan itu diberikan atas dasar kekayaan situs Dong-son
dalam beragam artefaknya, semuanya artefak perunggu yang ditemukan dalam
jumlah besar dengan bermacam bentuknya. Dong-son sebenarnya nama situs
yang berada di daerah Thanh-hoa, di pantai wilayah Annam (Vietnam
bagian utara). Hasil-hasil artefak perunggu yang bercirikan ornament
Dong-son ditemukan tersebar meluas di hampir seluruh kawasan Asia
Tenggara, dari Myanmar hingga kepulauan Kei di Indonesia timur.
Bermacam
artefak perunggu yang mempunyai ciri Kebudayaan Dong-son, contohnya
nekara dalam berbagai ukuran, moko (tifa perunggu), candrasa (kampak
upacara), pedang pendek, pisau pemotong, bejana, boneka, dan kampak
sepatu. Ciri utama dari artefak perunggu Dong-son adalah kaya dengan
ornamen, bahkan pada beberapa artefak hampir seluruh bagiannya penuh
ditutupi ornamen. Hal itu menunjukkan bahwa para pembuatnya,
orang-orang Dong-son (senimannya) memiliki selera estetika yang tinggi
(Wagner 1995: 25—26). Kemahiran seni tuang perunggu dan penambahan
bentuk ornamen tersebut kemudian ditularkan kepada seluruh seniman
sezaman di wilayah Asia Tenggara, oleh karenanya artefak perunggu
Dong-son dapat dianggap sebagai salah satu peradaban pengikat
bangsa-bangsa Asia Tenggara.
Seorang ahli
sejarah Kebudayaan bernama J.L.A.Brandes pernah melakukan kajian yang
mendalam tentang perkembangan kebudayaan Asia Tenggara dalam masa
proto-sejarah. Brandes menyatakan bahwa penduduk Asia Tenggara daratan
ataupun kepulauan telah memiliki 10 kepandaian yang meluas di awal
tarikh Masehi sebelum datangnya pengaruh asing, yaitu:
- Telah dapat membuat figur boneka
- Mengembangkan seni hias ornamen
- Mengenal pengecoran logam
- Melaksanakan perdagangan barter
- Mengenal instrumen musik
- Memahami astronomi
- Menguasai teknik navigasi dan pelayaran
- Menggunakan tradisi lisan dalam menyampaikan pengetahuan
- Menguasai teknik irigasi
- .Telah mengenal tata masyarakat yang teratur
Pencapaian peradaban tersebut dapat diperluas lagi setelah
kajian-kajian terbaru tentang kebudayaan kuno Asia Tenggara yang telah
dilakukan oleh G.Coedes. Beberapa pencapaian manusia Austronesia
penghuni Asia Tenggara sebelum masuknya kebudayaan luar.
Di bidang kebudayaan materi telah mampu:
- Kemahiran mengolah sawah, bahkan dalam bentuk terassering dengan teknik irigasi yang cukup maju
- Mengembangkan peternakan kerbau dan sapi
- Telah menggunakan peralatan logam
- Menguasai navigasi secara baik
Pencapaian di bidang sosial
- Menghargai peranan wanita dan memperhitungkan keturunan berdasarkan garis ibu
- Mengembangkan organisasi sistem pertanian dengan pengaturan irigasinya
Pencapaian di bidang religi:
- Memuliakan tempat-tempat tinggi sebagai lokasi yang suci dan keramat
- Pemujaan kepada arwah nenek moyang/leluhur (ancestor worship)
- Mengenal penguburan kedua (secondary burial) dalam gentong, tempayan, atau sarkopagus.
Dalam hal religi penduduk kepulauan Indonesia masa itu mengenal upacara pemujaan kepada arwah nenek moyang (ancestor worship). Kekuatan supernatural yang dipuja umumnya adalah arwah pemimpin kelompok atau ketua suku yang telah meninggal. Sebagai sarana pemujaannya didirikan berbagai monumen megalitik, antara lain punden berundak, menhir, dolmen, kubur batu, batu temu gelang, dan lain-lain.
Mempercayai mitologi dalam binary, kontras antara gunung-laut, gelap-terang, atas-bawah, lelaki-perempuan, makhluk bersayap, makhluk yang hidup dalam air, dan seterusnya (Hall 1988: 9).
Dalam
pada itu kesatuan budaya bangsa Austronesia di Asia Tenggara lambat
laun menjadi memisah, membentuk jalan sejarahnya sendiri-sendiri.
Menurut H.Th.Fischer, terjadinya bangsa dan aneka suku bangsa di Asia
Tenggara disebabkan oleh beberapa hal, yaitu:
- Telah ada perbedaan induk bangsa dalam lingkungan orang Austronesia sebelum mereka melakukan migrasi.
- Setelah bermigrasi mereka tinggal di daerah dan pulau-pulau yang berbeda, lingkungan yang tidak seragam, dan kemampuan adaptasi budaya mereka dengan alam setempat.
- Dalam waktu yang cukup lama setelah bermigrasi mereka jarang melakukan komunikasi antarasesamanya (Fischer 1980: 22-25).
Berdasarkan
ketiga hal itulah sub-sub bangsa Austronesia terbentuk, mereka ada
ratusan yang tinggal di kepulauan Indonesia, puluhan di Filipina,
Malaysia, dan Myanmar, dan yang lainnya ada yang menetap di Kamboja,
Thailand, Laos, Vietnam, Brunei, dan Singapura. Sebenarnya terdapat
beberapa hal lainnya yang menjadikan bangsa Austronesia terbagi dalam
sub-sub bangsa, yaitu (a) adanya pengaruh asing yang berbeda-beda
memasuki kebudayaan yang mereka usung, dan (b) adanya penjajahan
bangsa-bangsa barat di wilayah Asia Tenggara dengan karakter dan
rentang waktu yang berbeda pula. Demikianlah pada masa yang sangat
kemudian terbentuklah bangsa-bangsa Asia Tenggara yang mempunyai
kebudayaan dengan aneka coraj bentuknya, namun apabila ditelusuri bentuk
awalnya niscaya dari bentuk kebudayaan Austronesia yang telah
mengalami akulturasi selama berabad-abad dengan berbagai kebudayaan
luar yang datang.
/03/ Di antara Dua Kebudayaan Dunia
Kebudayaan Austronesia tidak mungkin berkembang sendiri di wilayah
Asia Tenggara, karena kawasan tersebut menjadi arena pertemuan dua
kebudayaan besar Asia yang telah lama berkembang, kedua kebudayaan itu
adalah India dan Cina. Di awal tarikh Masehi, dalam periode
protosejarah, dapat dipastikan banyak pelaut dan niagawan dari Cina dan
India saling berkunjung. Para pelaut tersebut sudah pasti melalui
laut, selat, dan pantai-pantai Asia Tenggara. Pada masa itulah terjadi
interaksi antara para pelaut Cina dan India dengan penduduk Asia
Tenggara yang merupakan bangsa besar Austronesia yang telah mengalami
diasporanya.
Kebudayaan bangsa-bangsa di Asia
Tenggara (baca: Austronesia) akhirnya diperkaya dengan diterimanya
pengaruh dua kebudayaan besar Asia pada masa itu. Maka tidak
mengherankan apabila banyak aspek kebudayaan yang datang dari India dan
Cina kemudian diterima oleh sub-bangsa-bangsa Austronesia di Asia
Tenggara. Apabila diperhatikan secara saksama, maka banyak bangsa Asia
Tenggara yang pada awal tarikh Masehi justru menerima kebudayaan India.
Penduduk di wilayah Jawa, Sumatera, Bali, Semenanjung Malaysia, Tumasik
(Singapura), Thailand, Khmer, Champa, Myanmar yang menerima
aspek-aspek budaya India. Adapun Laos dan Vietnam banyak dipengaruhi
oleh budaya Cina, walaupun pengaruh kebudayaan India meninggalkan
pula jejaknya --walau sedikit-- di Laos dan Vietnam. Filipina agaknya
lebih lama berada dalam masa proto-sejarah dan tetap mengembangkan
kebudayaan Austronesia yang awal. Berdasarkan bukti-bukti arkeologis
yang dapat dilacak di Filipina, dapat ditafsirkan bahwa Filipina tidak
banyak mendapat pengaruh dari kebudayaan India atau Cina. Penduduk
Filipina selatan langsung menerima agama Islam dalam abad ke-15,
sedangkan penduduk Filipina di pulau-pulau bagian utara yang masih
mengembangkan kebudayaan Austronesia langsung bergaul dan menerima
kebudayaan Spanyol yang mengembangkan agama Katholik.
Apabila
dibuat prosentasinya negara-negara Asia Tenggara yang mendapat
pengaruh budaya India dan yang mendapat pengaruh budaya Cina di awal
tarikh Masehi, maka keluarlah angka 70 % untuk budaya India, 20 %
untuk budaya Cina, dan 10 % yang masih mengembangkan budaya
Austronesianya, artinya tidak mendapat pengaruh dari dua kebudayaan
tersebut. Sebenarnya hanya 3 aspek yang diterima dari kebudayaan India
oleh kebudayaan sub-bangsa-bangsa Austronesia di Asia Tenggara, yaitu
(1) agama Hindu-Buddha, (2) penggunaan aksara Pallava yang menjadi
dasar terbentuknya aksara-aksara tradisional Asia Tenggara, dan (3)
sistem kalender Saka. Berpijak kepada 3 hal itulah maka kebudayaan
Austronesia menjadi lebih pesat berkembang memasuki zaman sejarahnya.
Sumbangan dari kebudayaan Cina yang mengendap dan menjadi dasar
perkembangan perkembangan kebudayaan selanjutnya hampir sedikit
dirasakan oleh orang-orang Austronesia, kecuali pengaruh politik yang
dirasa lebih dominan dari pada India. Banyak sumber sejarah Asia
Tenggara selalu menyatakan bahwa raja-raja yang baru dilantik akan
mengirimkan utusan ke Cina sebagai informasi atas kedudukan barunya dan
seperti meminta pengesahan dari para kaisar Cina.
Ketika
agama Islam mulai mengembangkan institusi kerajaan pertama di Asia
Tenggara, yaitu Samudera Pasai di wilayah Aceh; banyak bangsa Asia
Tenggara daratan masih setia melaksanakan ritus agama Buddha
Mahayananya, seperti di Laos, Thailand. Khmer, dan Myanmar. Islam
seakan-akan hanya Berjaya di wilayah Asia Tenggara kepulauan dan
semenanjung, sementara di pedalaman Asia Tenggara tidak mendapat
sambutan yang semarak. Agama Islam adalah pengaruh luar yang datang
lebih kemudian ke Asia Tenggara, sesuai dengan para pembawanya yang
merupakan kaum niagawan, maka pada awalnya agama tersebut perkembang di
wilayah yang mempunyai pantai dan bandar niaga, sudah pasti Islam akan
berkembang di wilayah kepulauan dan wilayah tepian continental yang
kerapkali dikunjungi para pedagang Islam.
Tidak
bisa dipungkiri bahwa Islam adalah bentuk kebudayaan ketiga yang turut
memperkaya perkembangan kebudayaan Austronesia di Asia Tenggara. Hanya
saja diakui bahwa agama tersebut hanya dipeluk oleh sebagian dari sub
bangsa Austronesia yang lazim dinamakan ras Melayu, tetapi Melayu tidak
identik dengan Islam.
/06/ Akar Peradaban Asia Tenggara
Selanjutnya
adalah perihal peradaban yang dikembangkan oleh bangsa-bangsa Asia
Tenggara yang sebenarnya adalah sub-bangsa Austronesia. Telah
dikemukakan bahwa kebudayaan keturunan orang-orang Austronesia di
negara-negara Asia Tenggara berkembang sesuai dengan jalan sejarah dan
juga pengaruh asing yang mendatanginya. Peradaban oleh para ahli kurang
lebih didefinisikan sebagai bagian dari kebudayaan yang baik, maju,
dan indah. Termasuk ke dalam peradaban adalah keberaksaraan, masyarakat
yang kompleks, kemajuan teknologi, dan pembangunan pemukiman.
Bangsa-bangsa
Asia Tenggara telah memiliki benih dari perkembangan peradabannya.
Datangnya pengaruh kebudayaan India, Cina, dan Islam, sejatinya
bagaikan air penyiram benih yang siap disemaikan. Benih itulah yang
mengakar jauh sejak masa prasaejarah lalu memasuki era protosejarah dan
akhirnya menembus zaman sejarah. Akar yang sama itu dimiliki oleh
bangsa-bangsa Asia Tenggara, akar tersebut berupa segala pencapaian
yang telah berhasil diraih oleh bangsa Austronesia sebelum pengaruh
luar memperkaya kebudayaan mereka. Akar itu adalah segala kepandaian
yang dimiliki bangsa Austronesia dalam masa prasejarah sebagaimana yang
telah dikemukakan terdahulu. Kemudian masuklah berbagai aspek
kebudayaan dari India (terbanyak) dan Cina. Sumbangan terpenting dari
kebudayaan India sebenarnya adalah pengenalan terhadap aksara. Maka
aksara Pallava lah yang dipilih oleh nenek moyang orang Indonesia,
Thailand, Khmer, dan Myanmar untuk menuliskan pengalaman-pengalaman
mereka dalam prasasti. Berkat adanya aksara juga pengetahuan dan
perjalanan hidup nenek moyang bangsa-bangsa Asia tenggara itu
didokumentasikan dalam suatu historiografi Asia Tenggara yang disebut
berbeda-beda pada tiap bangsa. Di Indonesia sendiri ada yang
menyebutnya dengan Babad, Hikayat, Tambo, Salasilah, Bo, Sajarah, dan
lain-lain. Dengan dikenalnya tulisan Pallava Asia Tenggara memasuki
Zaman sejarahnya, sekitar abad ke-4 M, sebelumnya masih dalam zaman
transisi antara prasejarah dan sejarah yang disebut proto-sejarah.
Dengan demikian akar peradaban bangsa-bangsa Asia Tenggara yang kelak
bergabung dalam ASEAN adalah “Peradaban Austronesia minus aksara”.
/07/ Epilog: Central Consepts of ASEAN Civilization
ASEAN
dalam dinamika kebudayaan Austronesia sebenarnya terletak di pusat
ethno-genesisnya. Di tengah wilayah Austronesia yang membentang dari
barat adalah Madagaskar hingga Pulau Paskah di timur, dan mulai dari
Taiwan-mikronesia di utara sampai wilayah Selandia Baru di selatan,
itulah wilayah jelajah nenek moyang Austronesia.
Dalam
suatu kebudayaan pasti terdapat konsep-konsep inti sehingga menjadi
kebudayaan tersebut tetap bertahan dan mempunyai jati dirinya, walaupun
harus menembus ruang geografi dan zaman-zaman berbeda. Setelah
memperhatikan perkembangan kebudayaan di Asia Tenggara tempat
terbentuknya ASEAN, maka terdapat beberapa central concept yang dapat
dikembangkan bersama oleh negara-negara ASEAN sebagai peradaban ASEAN
(ASEAN Civilization),
- Kebudayaan leluhur bersama Austronesia: jejak kebudayaan ini ada di setiap negara ASEAN hingga sekarang, walaupun tersaput oleh anasir kebudayaan baru yang datang kemudian. Contoh: terekam dalam bahasa, arsitektur rumah tradisional, tata kota, “the soul of government system”, religi etnik, kesenian, ornamen, adat sopan satun, dan lain-lain.
- Kemampuan peradaban ASEAN untuk berinteraksi dan berdialog dengan budaya luar yang datang, kemudian unsur budaya luar itu menjadi luluh dan dianggap sebagai milik sendiri. Akibat adanya kemampuan tersebut penduduk wilayah Asia Tenggara sejak masa silam tidak pernah menjadi India atau menjadi Cina dalam bidang budaya, melainkan tetap Austronesia.
- Tradisi agraris dan maritim yang sebenarnya sangat kuat mengakar, namun akibat kolonialisme banyak negara yang melupakan kedua kemampuan itu. ASEAN sebagai ethno-genesis Austronesia harus mampu mengembangkan lagi pencapaian-pencapaian baru di bidang agraris (telah dipelopori Thailand) dan maritim (seharusnya Indonesia).
- Toleransi dan Solidaritas ASEAN telah ditunjukkan sejak masa silam. Terdapat berita tertulis yang menyatakan ada kerjasama antara beberapa kerajaan Asia Tenggara untuk membendung pengaruh Cina yang selalu mendesak ke selatan.
- Penyebaran peradaban “kita bukan berasal dari mana-mana, namun menyebar ke mana-mana”. Bercermin sejak masa silam wilayah Asia Tenggara selalu didatangi oleh pengaruh luar, dan pengaruh budaya Asia Tenggara itu meluas hingga sepertiga dari bola bumi.
Demikian
beberapa postulat penting yang dapat diangkat dari kebudayaan
Austronesia yang sebenarnya menjadi dasar terbentuknya kebudayaan di
negara-negara ASEAN. Dalam kebudayaan tersebut terdapat hal-hal yang
maju, indah, dan bermutu bagi kepentingan seluruh umat manusia, itulah
yang disebut peradaban Austronesia; tentunya sekarang dapat dijuluki
The ASEAN Civilization.
DAFTAR PUSTAKA:BASHAM, A.L., 1959, The Wonder That was India: A Survey of the Cultural of the Indian Sub-Continent before The coming of the Muslims. New York: Brove Press, Inc.
BELLWOOD, PETER, 1978, Man’s Conquest of The Pasifiq: The Prehistory of Southeast Asia and Oceania. Auckland, Sydney, London: William Collins Publishers Ltd.
FISCHER, G.TH., 1980. Pengantar Antropologi Kebudayaan Indonesia. Seri Pustaka Sarjana. Terjemahan Anas Makruf. Jakarta: PT.Pembangunan.
HALL, D.G.E., 1988. Sejarah Asia Tenggara. Diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia oleh I.P.Soewarsha. Surabaya: Usaha Nasional.
HEINE-GELDERN, ROBERT VON, 1945, “Prehistoric Research in The Netherlands Indies”, edited by Pieter Honig and Frans Verdoorn, Science and Scientists in The Netherlands Indies. New York: The Riverside Press. Pages 129—167.
SOEJONO, R.P. (vol.editor), 1984, Sejarah Nasional Indonesia I. Jakarta: PN.Balai Pustaka.
VOGEL, J.PH., 1925, “The Earliest Sanskrit Inscriptions of Java”, Publicaties van den Oudheidkundigen Dienst in Nederlandsch-Indie I: 15—35. Batavia.
WAGNER, FRIZT A., 1995, Indonesia: Kesenian Suatu Daerah Kepulauan. Tranlated by Hildawati Sidharta. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Depdikbud.
Makalah ini disampaikan dalam Lokakarya Sentralitas ASEAN. Tema: “Eksistensi ASEAN di Tengah Perkembangan Tatanan Regional” Direktorat Jendral Kerjasama ASEAN, DEPLU R.I. Yogyakarta, 22-23 Juni 2009
Tidak ada komentar:
Posting Komentar